Di negeri ini, masih ada sebagian orang yang terlalu mudah terbakar emosi, menyimpan kebencian, dan menunjukkan kuasa dengan cara ekstrem. Hal itu tercermin dari insiden yang menimpa Tempo, di mana kantor media tersebut menerima kiriman kepala babi, diikuti bangkai tikus yang kepalanya terpenggal. Beberapa pihak menganggapnya sekadar sensasi, namun jika ditelaah lebih dalam, ini bukan sekadar serangan terhadap satu media, melainkan ancaman nyata terhadap kebebasan pers. Teror semacam ini adalah simbol kekerasan dan intimidasi yang dapat menciptakan ketakutan di kalangan jurnalis, membuat mereka berpikir ulang sebelum mengungkap fakta. Jika tidak ditindak tegas, ini akan menjadi preseden buruk bagi demokrasi.
Namun, jurnalisme sejati tidak akan pernah padam oleh ancaman. Jurnalis yang bekerja dengan integritas tidak mudah dibungkam, sebagaimana sejarah telah membuktikan. Berbagai negara menghadapi ancaman serupa, dari pembunuhan Daphne Caruana Galizia di Malta hingga tekanan terhadap Maria Ressa di Filipina, tetapi keberanian mereka tetap hidup berkat dukungan publik. Kasus-kasus di Rusia dan Irlandia juga menjadi pengingat bahwa meskipun upaya membungkam dilakukan dengan brutal, kebenaran tetap menemukan jalannya. Indonesia sendiri memiliki catatan kelam, seperti kasus Udin yang hingga kini belum menemukan keadilan.
Respons terhadap ancaman terhadap pers tidak boleh lemah. Investigasi harus dilakukan secara tuntas, bukan hanya menangkap eksekutor, tetapi juga mengungkap siapa dalang di balik aksi teror ini. Solidaritas publik sangat penting agar kebebasan pers tidak hanya menjadi isu jurnalis, tetapi menjadi kepedulian bersama. Jangan biarkan teror menjadi hal yang dianggap biasa, karena ketika serangan terhadap pers tidak lagi mengejutkan, itulah tanda kemunduran. Negara yang kuat bukan hanya yang memiliki kekuatan ekonomi dan infrastruktur megah, tetapi yang mampu melindungi suara-suara kecil yang membawa kebenaran.