Para pemimpin politik Greenland menyatakan ketertarikannya untuk meningkatkan kerja sama dengan China dalam berbagai sektor, termasuk perdagangan, perikanan, dan pembangunan berkelanjutan. Salah satu fokus utama dari upaya ini adalah kemungkinan perjanjian perdagangan bebas antara kedua belah pihak. Vivian Motzfeldt, yang akan menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dalam pemerintahan otonom baru Greenland, menegaskan bahwa mempererat hubungan dengan China akan menjadi prioritasnya. Ia mengungkapkan bahwa perjalanannya ke China pada 2023 meninggalkan kesan mendalam, terutama karena China merupakan salah satu pasar terbesar bagi ekspor boga bahari Greenland.
Selain memperluas ekspor, Motzfeldt juga ingin memperkuat kerja sama di sektor perikanan dan mengeksplorasi kemungkinan kerja sama ekonomi yang lebih erat. Sementara itu, Aqqalu Jerimiassen, Ketua Partai Atassut sekaligus anggota Parlemen Greenland, berbagi pandangan serupa berdasarkan pengalamannya mengunjungi berbagai kota di China pada 2018. Menurutnya, hubungan yang lebih erat dengan perusahaan dan otoritas China dapat membawa manfaat besar bagi Greenland.
Pemerintah otonom baru Greenland sendiri resmi dibentuk pada Jumat (28/3) melalui perjanjian koalisi yang melibatkan empat partai politik. Perjanjian ini ditandatangani dalam sebuah upacara di Pusat Kebudayaan Katuaq di Nuuk, ibu kota Greenland, dengan dukungan 23 dari 31 anggota parlemen. Greenland sebelumnya merupakan koloni Denmark hingga 1953, sebelum menjadi bagian dari Kerajaan Denmark dengan status wilayah otonom pada 1979. Meskipun memiliki pemerintahan sendiri, urusan luar negeri dan kebijakan pertahanan masih berada di bawah kendali Denmark.