Tag Archives: AS

https://orkutluv.com

Ekonomi Global Terancam Lesu Akibat Kebijakan Tarif Trump

Rencana Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk mengenakan tarif timbal balik terhadap semua mitra dagangnya memicu kekhawatiran luas. Keputusan ini, yang dikeluarkan pada Kamis (13/2), diyakini dapat memicu perang dagang global dan mempengaruhi prospek ekonomi dunia, yang telah stabil dalam beberapa tahun terakhir.

Trump menandatangani memorandum yang memerintahkan pemerintahannya untuk menentukan tarif timbal balik setara terhadap setiap negara mitra dagang. Langkah ini dinilai bertujuan untuk menciptakan kesetaraan dalam perdagangan internasional, namun justru menimbulkan dampak negatif bagi bisnis global. Sejumlah ahli ekonomi dan organisasi perdagangan memperingatkan potensi gangguan besar pada ekonomi AS dan negara mitra, serta ancaman terhadap kestabilan pasar global.

Menghancurkan Aturan Perdagangan Dunia

Sejumlah ekonom, termasuk Gary Clyde Hufbauer, seorang peneliti senior di Peterson Institute for International Economics, menyebut langkah Trump sebagai perubahan mendalam dalam sistem perdagangan internasional. Hufbauer menjelaskan bahwa dalam kerangka Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), konsep “timbal balik” biasanya merujuk pada keseimbangan konsesi yang diberikan dan diterima oleh masing-masing negara. Namun, Trump telah mendefinisikan ulang istilah ini, menetapkan tarif berdasarkan negara per negara, bukan dalam konteks kesepakatan yang lebih besar.

Dengan cara ini, tarif yang dikenakan AS diperkirakan akan lebih tinggi rata-rata sekitar 10 hingga 15 persen. Hufbauer menambahkan, meskipun tarif ini bisa meningkatkan pendapatan bagi pemerintah AS, namun dampaknya terhadap ekonomi domestik bisa sangat merugikan, termasuk penurunan pertumbuhan PDB.

Ketidakpastian Mengganggu Rantai Pasokan dan Konsumsi

Dalam pernyataannya, Federasi Ritel Nasional (NRF) yang mewakili sektor ritel AS, memperingatkan bahwa kebijakan ini dapat mengganggu rantai pasokan secara signifikan. David French, wakil presiden eksekutif NRF, menyatakan bahwa langkah ini berisiko meningkatkan harga barang bagi konsumen AS dan mengurangi daya beli rumah tangga. Selain itu, dengan semakin turunnya indeks sentimen konsumen di AS, ketidakpastian yang ditimbulkan dari kebijakan perdagangan ini menjadi masalah besar bagi ekonomi domestik.

Uni Eropa juga mengkritik kebijakan tarif ini, menyebutkan bahwa tarif baru akan merugikan ekonomi AS itu sendiri dengan meningkatkan harga barang-barang yang dikonsumsi oleh masyarakat. Menurut Komisi Eropa, tarif adalah bentuk pajak yang membebani konsumen, menghambat pertumbuhan ekonomi, dan menciptakan inflasi.

Ancaman Terhadap Ekonomi Global

Ekonom internasional pun memperingatkan bahwa kebijakan tarif Trump berisiko mengguncang ekonomi global. Luis de Guindos, Wakil Presiden Bank Sentral Eropa, menjelaskan bahwa perang dagang yang melibatkan tarif tinggi dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi global secara drastis. Ia menyebutkan bahwa tarif yang lebih tinggi, jika disertai dengan tindakan balasan dari negara lain, akan menciptakan “lingkaran setan” yang merugikan pasar dunia.

Studi oleh Peterson Institute juga mengungkapkan bahwa kebijakan tarif Trump terhadap negara-negara seperti Kanada, Meksiko, dan Tiongkok berpotensi membebani rumah tangga AS dengan kenaikan pajak lebih dari USD 1.200 per tahun. Selain itu, negara-negara berkembang seperti India, Brasil, Vietnam, serta negara-negara Asia Tenggara dan Afrika lainnya kemungkinan akan merasakan dampak yang lebih berat. Mereka yang menghadapi perbedaan tarif yang besar terhadap barang-barang AS akan tertekan dengan biaya yang meningkat akibat kebijakan ini.

Konsekuensi yang Lebih Luas

Meskipun kebijakan tarif ini berfokus pada negara mitra dagang besar seperti Tiongkok dan Kanada, dampaknya diprediksi akan terasa lebih luas. Bagi AS sendiri, kebijakan ini dapat mengganggu kestabilan ekonomi domestik, memicu inflasi, dan mengurangi daya beli masyarakat. Sementara itu, negara-negara berkembang yang selama ini bergantung pada ekspor ke pasar AS akan merasakan dampak berat dari kebijakan ini.

Kebijakan Trump ini berpotensi memperburuk ketegangan dagang internasional, dan memicu persaingan tarif antar negara yang tak terhindarkan. Dalam jangka panjang, kekhawatiran ini akan mempengaruhi prospek pertumbuhan ekonomi global, yang sudah rapuh akibat ketidakpastian pasar global dan geopolitik.

Dengan langkah yang penuh risiko ini, AS harus mempertimbangkan dengan hati-hati konsekuensi yang lebih besar yang dapat terjadi terhadap perdagangan global, kestabilan ekonomi, dan hubungan antar negara.

China Klarifikasi Tujuan Kerja Sama BRICS: Tidak Menargetkan AS, Fokus pada Pembangunan Global

Pemerintah China menanggapi pernyataan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang mengancam akan mengenakan tarif 100 persen terhadap negara-negara anggota BRICS jika mereka menciptakan mata uang bersama dan “mempermainkan” dolar AS. Dalam konferensi pers pada Senin (17/2), Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Guo Jiakun, menegaskan bahwa BRICS bukanlah platform yang dirancang untuk menargetkan pihak tertentu, melainkan untuk mempererat kerja sama antara negara-negara berkembang.

Guo Jiakun menjelaskan bahwa BRICS, yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, berfokus pada prinsip keterbukaan, inklusivitas, dan kerjasama yang saling menguntungkan. Ia menambahkan bahwa BRICS tidak bertujuan untuk menciptakan konfrontasi blok atau konflik dengan negara ketiga, seperti yang dikemukakan Trump. Selain itu, Guo Jiakun mengungkapkan bahwa China siap bekerja dengan negara anggota BRICS lainnya untuk meningkatkan kolaborasi di berbagai bidang, yang diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi global yang stabil dan berkelanjutan.

Sebelumnya, Trump mengatakan bahwa negara-negara BRICS takut membicarakan usulan tersebut karena ancamannya untuk mengenakan tarif besar. Trump juga menyoroti keberadaan BRICS yang didirikan untuk tujuan yang buruk dan menyatakan bahwa negara-negara BRICS tidak ingin berurusan dengan masalah tersebut. Pada saat yang sama, Presiden Rusia Vladimir Putin turut menyerukan de-dolarisasi dalam pertemuan BRICS tahun 2023, dengan mengusulkan agar negara-negara BRICS memperluas penyelesaian transaksi dalam mata uang nasional mereka.

BRICS saat ini terdiri dari 10 negara anggota: Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan, Mesir, Ethiopia, Indonesia, Iran, dan Uni Emirat Arab. Meskipun berkembang, BRICS tetap menggunakan nama yang telah ada dan memiliki pengaruh besar, dengan menguasai 40 persen populasi dunia dan 35 persen produk domestik bruto global.

AS Resmi Tinggalkan WHO, Keputusan Kontroversial Trump

Pada Senin (20/1/2025), Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, mengumumkan keputusan yang mengejutkan: penarikan keanggotaan AS dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Keputusan ini menjadi babak baru dalam hubungan AS dengan badan internasional yang bertanggung jawab dalam mengkoordinasikan tanggapan global terhadap berbagai krisis kesehatan, termasuk pandemi.

Langkah Trump ini disorot oleh banyak pakar kesehatan masyarakat yang memperingatkan bahwa keputusan tersebut dapat melemahkan peran AS sebagai pemimpin dalam upaya kesehatan global dan memperburuk respons terhadap pandemi di masa depan. Kritik terhadap WHO oleh Trump sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 2020, saat ia mengecam cara organisasi itu menangani pandemi Covid-19. Pada waktu itu, Trump bahkan mengancam akan menghentikan pendanaan AS untuk WHO, namun ancaman itu baru terlaksana setelah kekalahannya dalam pemilu 2020.

Melalui perintah eksekutif yang ditandatanganinya, Trump menjelaskan bahwa keputusannya didorong oleh sejumlah alasan. Di antaranya adalah “kesalahan organisasi dalam menangani pandemi Covid-19 yang berasal dari Wuhan, China, serta kegagalan WHO dalam melakukan reformasi yang sangat diperlukan.” Selain itu, Trump juga mengkritik ketidakmampuan WHO dalam menjaga independensinya dari pengaruh politik dan merasa bahwa AS sudah membayar lebih banyak dibandingkan negara-negara lain untuk mendanai WHO.

Menurut laporan The New York Times, keputusan untuk keluar dari WHO akan memberikan dampak signifikan bagi AS, termasuk berkurangnya akses Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS terhadap data global yang disediakan oleh organisasi tersebut. Sebagai contoh, pada tahun 2020, saat China pertama kali merilis urutan genetik virus Covid-19, informasi tersebut pertama kali dibagikan oleh WHO kepada negara-negara anggota. Tanpa akses tersebut, AS bisa kehilangan sumber informasi penting yang berhubungan dengan kesehatan global.

Keputusan ini juga mengarah pada perdebatan yang lebih luas mengenai perjanjian pandemi yang sedang dipertimbangkan oleh WHO. Perjanjian tersebut bertujuan untuk memperkuat kesiapsiagaan terhadap pandemi, mengatur kebijakan yang mengikat secara hukum mengenai pengawasan patogen, serta berbagi data wabah dengan cepat. Namun, beberapa anggota parlemen dari Partai Republik AS menganggap perjanjian ini dapat mengancam kedaulatan negara mereka.

Lawrence O. Gostin, seorang pakar hukum kesehatan masyarakat di Universitas Georgetown, menyebut langkah Trump ini sebagai “kerugian besar” untuk kesehatan masyarakat global dan “akan lebih merugikan” kepentingan serta keamanan nasional AS. WHO, yang didirikan pada tahun 1948 dengan dukungan besar dari AS, bertugas untuk mengatasi tantangan kesehatan global dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dunia. Sebagai badan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), WHO berperan penting dalam memberikan bantuan kepada wilayah yang terdampak konflik, serta melacak dan mengendalikan epidemi seperti Zika, Ebola, dan Covid-19.

Penarikan diri AS dari WHO ini menunjukkan ketegangan antara prioritas nasional dan kerjasama internasional, serta menambah tantangan bagi dunia dalam menghadapi krisis kesehatan yang semakin kompleks. Sementara WHO terus berupaya mengoordinasikan respons global terhadap penyakit dan wabah, langkah ini memunculkan pertanyaan besar tentang masa depan kerjasama internasional dalam bidang kesehatan.

Tembakan Rudal Korea Utara ke Laut Timur: Pesan untuk Amerika atau Keamanan di Asia?

Pada Selasa pagi, 14 Januari 2025, Korea Utara kembali melakukan uji coba rudal balistik jarak pendek, yang jatuh di Laut Timur. Peluncuran rudal tersebut diyakini sebagai upaya untuk mengirimkan pesan kepada pemerintahan Presiden AS terpilih, Donald Trump, yang akan kembali menjabat minggu depan. Hal ini disampaikan oleh para ahli militer di Korea Selatan.

Peluncuran rudal juga terjadi bersamaan dengan kunjungan Menteri Pertahanan Jepang, Takeshi Iwaya, yang berada di Korea Selatan untuk serangkaian pertemuan dengan pejabat tinggi negara-negara tetangga Asia. Iwaya dijadwalkan untuk memperkuat hubungan bilateral sebelum pemerintahan Trump dimulai.

Menurut laporan militer Korea Selatan, beberapa rudal balistik jarak pendek ditembakkan ke Laut Timur sekitar pukul 09.30 waktu setempat, di dekat wilayah Ganggye, Korea Utara. Para ahli militer menyatakan bahwa rudal tersebut terbang sejauh 250 kilometer sebelum akhirnya mendarat di laut.

Korea Selatan dan Amerika Serikat segera mendeteksi persiapan peluncuran rudal tersebut dan memantau pergerakan rudal sejak dini. Kedua negara mempertahankan kesiapsiagaan penuh, berbagi informasi, serta meningkatkan pengawasan terhadap kemungkinan peluncuran lebih lanjut. Pasukan militer Korea Selatan dan AS juga menguatkan kewaspadaan terhadap potensi ancaman lainnya dari Korea Utara.

Pemerintah Korea Selatan mengecam tindakan ini, dengan Penjabat Presiden Choi Sang-mok mengingatkan bahwa peluncuran tersebut melanggar resolusi Dewan Keamanan PBB. “Seoul akan menghadapi provokasi semacam ini dengan respons tegas, mengandalkan postur keamanan yang kuat dan aliansinya dengan AS,” ungkapnya.

Para pengamat internasional berpendapat bahwa peluncuran rudal tersebut mungkin merupakan isyarat dari Korea Utara kepada pemerintahan baru di AS. “Peluncuran ini bisa jadi dimaksudkan untuk memberikan tekanan menjelang masa jabatan kedua Presiden Trump,” kata Yang Moo-jin, Presiden Universitas Studi Korea Utara di Seoul.

Dengan meningkatnya ketegangan di kawasan tersebut, langkah Korea Utara ini semakin menambah ketidakpastian yang harus dihadapi oleh negara-negara tetangga dan komunitas internasional menjelang pemerintahan baru di AS.

Tensi Meningkat Antara Negara AS Dan Rusia

Ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan Rusia kembali meningkat, dengan kedua negara saling tuduh dan ancam terkait eskalasi militer di Eropa Timur. Pasca serangan besar-besaran yang dilancarkan oleh Rusia ke wilayah Ukraina, Amerika Serikat memperkuat kehadiran militernya di kawasan tersebut. Ketegangan ini dipicu oleh langkah-langkah yang dianggap oleh Rusia sebagai intervensi Barat dalam urusan dalam negeri negara-negara persemakmurannya. Pihak Rusia menuduh AS mendukung pemberontakan di Ukraina dan memberikan bantuan militer yang dapat memperburuk situasi.

Perang di Ukraina yang dimulai sejak 2022 menjadi titik fokus ketegangan ini. AS, bersama dengan negara-negara Eropa, terus memberikan bantuan militer dan finansial kepada pemerintah Ukraina, yang berusaha mempertahankan kemerdekaannya dari agresi Rusia. Rusia, yang merasa ancaman terhadap kekuasaannya semakin besar, menanggapi dengan meningkatkan serangan dan memperingatkan bahwa dukungan Barat kepada Ukraina dapat mengarah pada konfrontasi langsung. Dalam beberapa bulan terakhir, situasi di garis depan semakin memburuk, dengan kedua pihak memperbesar peralatan tempur di perbatasan.

Pada bulan Oktober 2024, baik AS maupun Rusia memperlihatkan peningkatan aktivitas militer di sepanjang perbatasan mereka, meningkatkan ketakutan akan eskalasi yang lebih besar. AS mengirimkan lebih banyak pasukan dan peralatan militer ke negara-negara Eropa Timur, khususnya negara-negara anggota NATO yang berbatasan langsung dengan Rusia, seperti Polandia dan negara Baltik. Rusia merespons dengan mengerahkan pasukan tambahan di wilayah Kaliningrad dan memperingatkan bahwa setiap serangan terhadap wilayahnya akan dianggap sebagai deklarasi perang. Di sisi diplomatik, upaya untuk mengadakan pertemuan antara kedua pemimpin, seperti pertemuan di PBB atau pertemuan bilateral, semakin jarang terjadi.

Kekhawatiran mengenai potensi perang nuklir juga semakin meningkat. Rusia telah secara terbuka mengisyaratkan bahwa mereka tidak akan ragu untuk menggunakan senjata nuklir jika merasa terancam oleh intervensi Barat dalam konfliknya dengan Ukraina. Dalam pernyataannya, Presiden Rusia Vladimir Putin menyebutkan bahwa “tidak ada batasan” bagi Rusia jika menghadapi ancaman eksistensial. Sementara itu, AS dan NATO berusaha untuk menanggapi dengan kekuatan konvensional, tetapi juga mengingatkan Rusia mengenai konsekuensi dari penggunaan senjata nuklir.

Meskipun dunia internasional terus mendorong dialog dan penyelesaian damai, upaya tersebut terhalang oleh keteguhan kedua belah pihak dalam mempertahankan posisi mereka. AS dan Rusia terlibat dalam negosiasi yang semakin memanas, dengan masing-masing pihak menuntut pengakuan atas kepentingan strategis mereka di kawasan Eropa Timur. Bagi Rusia, keberadaan NATO di perbatasan mereka dianggap sebagai ancaman langsung terhadap keamanan nasional, sementara AS melihat ekspansi NATO sebagai langkah penting untuk menjaga stabilitas di Eropa.

Komunitas internasional kini semakin cemas dengan situasi yang berkembang. Negara-negara besar lainnya, seperti China, India, dan negara-negara Uni Eropa, berusaha untuk menengahi ketegangan ini, namun sejauh ini hasilnya minim. Banyak yang khawatir bahwa jika ketegangan ini tidak diredakan, dunia bisa terperangkap dalam konflik besar yang dapat membawa dampak lebih luas dari sekadar wilayah Ukraina. Organisasi seperti PBB dan NATO terus menyerukan dialog, tetapi langkah konkret untuk mengurangi ketegangan belum terlihat jelas.

Saat ini, dunia menyaksikan dengan cemas bagaimana ketegangan ini bisa berkembang menjadi lebih buruk. Meskipun perang terbuka antara AS dan Rusia masih dapat dihindari, perselisihan yang semakin mendalam dan pengembangan senjata nuklir yang semakin masif menambah ketidakpastian masa depan. Jika kedua negara besar ini tidak menemukan jalan keluar yang tepat, dunia mungkin akan menghadapi dampak yang sangat besar, baik dari sisi politik, ekonomi, maupun kemanusiaan.

Israel-AS Siap Balas Iran, China Beri Sinyal Bakal Dukung Teheran

Jakarta – Ketegangan di Timur Tengah semakin meningkat setelah Israel dan Amerika Serikat menegaskan kesiapan mereka untuk membalas setiap ancaman dari Iran. Sementara itu, China memberikan sinyal akan mendukung Teheran, menambah kompleksitas dinamika geopolitik di kawasan tersebut.

Pernyataan terbaru dari pejabat tinggi militer Israel menyebutkan bahwa mereka tidak akan ragu untuk melakukan tindakan militer jika Iran terus meningkatkan agresi, baik melalui dukungan terhadap kelompok bersenjata di wilayah tersebut maupun program nuklirnya. AS juga mengisyaratkan akan memberikan dukungan penuh kepada Israel, termasuk kemungkinan pengiriman sistem pertahanan udara tambahan.

Di sisi lain, China menunjukkan dukungan terhadap Iran dengan menyatakan komitmennya untuk memperkuat hubungan bilateral. Dalam pernyataan resmi, pemerintah China menekankan pentingnya stabilitas dan keamanan di Timur Tengah, serta mengingatkan bahwa semua pihak harus menghormati kedaulatan negara-negara di kawasan. Ini mengindikasikan bahwa China berusaha untuk memperluas pengaruhnya di tengah ketegangan yang ada.

Reaksi terhadap situasi ini bervariasi di tingkat internasional. Banyak negara mengkhawatirkan kemungkinan eskalasi konflik yang dapat melibatkan kekuatan besar seperti AS dan China. Beberapa analis mengingatkan bahwa ketegangan ini dapat mengganggu stabilitas energi global, mengingat Iran adalah salah satu produsen minyak utama di dunia.

Ketegangan ini juga berdampak pada negosiasi terkait program nuklir Iran. Dengan dukungan yang semakin kuat dari China, Iran mungkin merasa lebih percaya diri untuk melanjutkan programnya, yang dapat mengurangi kemungkinan kesepakatan diplomatik dengan negara-negara Barat. Hal ini dikhawatirkan dapat memicu perlombaan senjata di kawasan.

Situasi di Timur Tengah saat ini sangat dinamis, dengan Israel dan AS bersiap untuk membalas Iran, sementara China memberikan dukungan tegas kepada Teheran. Perkembangan ini menunjukkan bahwa ketegangan geopolitik di kawasan akan terus berlanjut, dengan dampak yang mungkin dirasakan di seluruh dunia. Diplomat di seluruh dunia kini menghadapi tantangan besar untuk menurunkan ketegangan dan mencari solusi damai.

Kapal Perang AS Dan Kanada Lintasi Selat Taiwan Pasca Latihan Pasukan China

Pada 21 Oktober 2024, kapal perang milik Angkatan Laut Amerika Serikat dan Kanada berhasil melintasi Selat Taiwan setelah menyelesaikan latihan militer bersama di kawasan tersebut. Aksi ini terjadi hanya beberapa hari setelah latihan militer besar-besaran yang dilakukan oleh China di dekat Taiwan, yang meningkatkan ketegangan regional. Pelintasan kapal perang ini dianggap sebagai langkah untuk menunjukkan solidaritas antara AS dan sekutunya dalam menjaga stabilitas kawasan.

Kapal perang yang terlibat dalam operasi ini terdiri dari USS Ronald Reagan, sebuah kapal induk kelas Nimitz, serta HMCS Calgary, kapal perusak milik Angkatan Laut Kanada. Melalui misi ini, kedua negara berupaya menegaskan komitmen mereka terhadap keamanan dan kebebasan navigasi di perairan internasional. Pejabat AS mengungkapkan bahwa operasi ini merupakan bagian dari strategi yang lebih luas untuk menghadapi tantangan yang ditimbulkan oleh aktivitas militer China di wilayah tersebut.

Latihan militer China sebelumnya mencakup serangkaian manuver angkatan laut dan udara yang dipandang sebagai respons terhadap tindakan AS dan sekutunya di kawasan. Tindakan tersebut menimbulkan kekhawatiran di kalangan negara-negara tetangga dan komunitas internasional tentang potensi konflik yang lebih besar. Dengan pelintasan kapal perang AS dan Kanada, mereka ingin menegaskan bahwa mereka akan tetap menjaga komitmen mereka untuk menjamin keamanan maritim.

Selain itu, kegiatan ini juga mengirimkan pesan kepada negara-negara lain di kawasan tentang pentingnya kerjasama multilateral dalam menghadapi tantangan keamanan. Para analis menyebutkan bahwa pelintasan ini adalah bagian dari upaya yang lebih luas untuk menguatkan aliansi di Indo-Pasifik dan mengantisipasi tindakan agresif dari China.

Dengan situasi yang terus berkembang, pengamatan internasional akan terus tertuju pada dinamika yang terjadi di Selat Taiwan dan bagaimana negara-negara besar berinteraksi di kawasan yang sangat strategis ini.