Serikat buruh berencana mengadukan masalah kepada Presiden Prabowo Subianto jika mereka tidak dilibatkan dalam proses pembahasan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang pengamanan produk tembakau dan rokok elektronik. RPMK ini merupakan aturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan.
Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman (FPS RTMM SPSI), Sudarto, menyatakan pihaknya menolak RPMK jika pembahasannya tidak melibatkan seluruh pihak yang terdampak, termasuk serikat buruh. Ia juga mengusulkan agar PP 28/2024 ditinjau ulang, mengingat peraturan tersebut memberikan tekanan tambahan pada industri hasil tembakau (IHT).
“Kami akan menolak RPMK yang tidak melibatkan pihak-pihak yang terkena dampak langsung,” ujar Sudarto dalam forum diskusi “Mengejar Pertumbuhan Ekonomi 8%: Tantangan Industri Tembakau di Tengah Kebijakan Baru” yang digelar di Auditorium Menara Bank Mega, Jakarta Selatan, pada Selasa (5/11/2024).
Sudarto mengungkapkan bahwa Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sebelumnya telah berjanji untuk melibatkan mereka dalam pembahasan aturan terkait tembakau. Janji ini diberikan setelah ribuan buruh melakukan aksi demonstrasi di depan Gedung Kemenkes pada 10 Oktober lalu.
“Kemenkes sudah janji kepada kami untuk ikut dalam diskusi dan memberi aspirasi. Kami tetap siap melangkah lebih jauh jika pemerintah tidak menunjukkan itikad baik,” ungkapnya.
Sudarto menegaskan, jika Kemenkes tidak memenuhi komitmen tersebut, pihaknya telah menyiapkan langkah lanjutan, termasuk mengadukan langsung kepada Presiden Prabowo di Istana Negara. “Kalo Kemenkes tidak menepati janjinya,kami akan langsung memberi proposal ini kepada presiden. Jika memang harus, kami siap mendatangi Istana,” tegasnya.
Lebih lanjut, Sudarto menjelaskan bahwa industri hasil tembakau (IHT) merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, terutama dari kalangan ibu rumah tangga dengan latar pendidikan rendah. Menurutnya, apabila IHT tertekan, maka potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) akan meningkat, dan akan sulit menemukan sektor pengganti yang mampu menampung para pekerja perempuan dengan pendidikan terbatas tersebut.
“Industri tembakau ini memberikan kesempatan kerja bagi banyak perempuan, terutama mereka yang memiliki keterbatasan dalam pendidikan. Hal ini bukan semata-mata karena mereka tidak ingin bersekolah, tetapi akses pendidikan yang masih terbatas di sejumlah wilayah. Industri ini sangat cocok bagi mereka, dan sulit untuk menemukan industri lain yang bisa memberikan kesejahteraan yang sama seperti IHT,” papar Sudarto.
Dengan melibatkan serikat buruh dalam pembahasan RPMK, diharapkan keputusan yang diambil bisa memperhatikan kesejahteraan pekerja dan dampak sosial ekonomi yang lebih luas.