Tag Archives: Stabilitas Ekonomi

https://orkutluv.com

Ekonomi Indonesia Tahan Banting di Tengah Goncangan Global

Ekonomi Indonesia dinilai cukup tangguh dalam menghadapi dinamika pasar global yang tidak menentu. Menurut Kepala Riset Bahana Sekuritas, Satria Sambijantoro, potensi pemulihan pasar saham Indonesia cukup besar, apalagi dengan adanya aliran dana asing yang masuk. Meskipun selama libur pasar saham, nilai ETF Indonesia sempat turun hingga 10 persen, diperkirakan investor institusional, baik lokal maupun asing, akan kembali aktif karena likuiditas tunai yang tinggi setelah penjualan ekuitas sebelum libur panjang Idul Fitri.

Satria menyoroti bahwa Indonesia tidak terlalu bergantung pada ekspor ke Amerika Serikat, yang hanya menyumbang sekitar dua persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini jauh di bawah negara-negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia yang masing-masing bergantung sebesar 11 persen dan 10 persen. Bahkan meski produk Indonesia dikenakan tarif impor sebesar 32 persen oleh AS, tarif tersebut masih lebih rendah dibanding negara pesaing seperti Tiongkok dan Bangladesh.

Penurunan harga minyak dunia sebesar 15 persen dan pelemahan rupiah sekitar 5 persen justru dianggap menjadi peluang, karena bisa mendongkrak daya saing ekspor manufaktur serta menarik minat investor asing terhadap instrumen keuangan Indonesia. Meski nilai tukar rupiah kini di kisaran Rp17.000 per dolar AS, depresiasi ini justru dilihat sebagai perlindungan alami terhadap efek kebijakan tarif dari AS. Satria juga menyatakan optimisme bahwa tanda-tanda pemulihan pasar global bisa lebih cepat terjadi, bahkan melampaui pemulihan pasca krisis tahun 2020.

China Ajak AS Pererat Hubungan di Tengah Ketegangan Perdagangan

Kementerian Luar Negeri China menyatakan keterbukaannya bagi lebih banyak anggota parlemen dan warga Amerika Serikat untuk mengunjungi Tiongkok guna memahami negara tersebut secara lebih objektif. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Guo Jiakun, menegaskan bahwa hubungan yang stabil, sehat, dan berkelanjutan antara China dan AS merupakan kepentingan bersama bagi kedua negara serta komunitas internasional. Pernyataan ini disampaikan dalam konferensi pers di Beijing pada Senin (24/3), sehari setelah pertemuan antara Perdana Menteri China Li Qiang dan Senator AS dari Partai Republik, Steve Daines.

Dalam pertemuan tersebut, PM Li menekankan bahwa hubungan China-AS kini berada di titik kritis dan sejarah telah membuktikan bahwa kerja sama memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak, sementara konfrontasi justru merugikan. Ia menegaskan pentingnya dialog dan kerja sama yang saling menguntungkan dibandingkan tindakan yang memperburuk ketegangan. PM Li juga berharap AS dapat terlibat dalam komunikasi yang terbuka, membangun kepercayaan, serta memperdalam kerja sama ekonomi untuk mendorong stabilitas hubungan bilateral.

Ketegangan perdagangan antara kedua negara meningkat sejak AS memberlakukan tarif impor sebesar 10 persen terhadap hampir seluruh produk China pada Februari 2025, yang kemudian dinaikkan menjadi 20 persen pada Maret 2025. Sebagai respons, China mengenakan tarif atas produk pertanian AS, termasuk pungutan 15 persen untuk ayam, gandum, dan jagung, serta 10 persen untuk kacang kedelai, daging sapi, dan buah-buahan. Selain itu, AS juga memberlakukan tarif 25 persen terhadap impor baja dan aluminium, termasuk dari China, mulai 12 Maret 2025.

Dalam kunjungannya, Daines menyatakan bahwa ia akan membahas isu pembatasan produksi serta distribusi fentanil dengan pejabat China, sekaligus menekankan perlunya mengurangi defisit perdagangan serta memastikan akses pasar yang adil bagi petani dan produsen asal Montana. Kunjungan Daines ini menjadi yang pertama dari anggota Kongres AS sejak Trump kembali menjabat pada Januari 2025. Di tengah eskalasi kebijakan tarif dan sanksi ekonomi, hubungan China-AS kini berada di persimpangan jalan, dengan diplomasi sebagai kunci dalam menentukan arah masa depan kedua negara.