Anggota DPR RI Bambang Soesatyo menilai bahwa pembentukan Badan Penerimaan Negara sebagai lembaga terpusat untuk mengelola seluruh pendapatan negara memerlukan pendekatan Omnibus Law. Menurutnya, langkah ini diperlukan mengingat perubahan kelembagaan tersebut membutuhkan revisi terhadap sedikitnya 11 undang-undang yang berkaitan dengan perpajakan, kepabeanan, cukai, PNBP, serta tata kelola keuangan negara. Dengan menerapkan Omnibus Law, berbagai aturan dapat direvisi dalam satu regulasi yang terintegrasi, sehingga percepatan pembentukan Badan Penerimaan Negara bisa lebih optimal.
Bamsoet menegaskan bahwa pembentukan lembaga ini merupakan salah satu prioritas dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang RPJMN 2025-2029 yang telah ditandatangani oleh Presiden Prabowo Subianto pada 10 Februari 2025. Tujuan utama badan ini adalah meningkatkan pendapatan negara, baik dari sektor pajak maupun non-pajak, guna memperkuat fondasi fiskal dan mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Reformasi administrasi, perencanaan yang lebih matang, serta optimalisasi sistem baru diharapkan dapat meningkatkan efektivitas pengelolaan penerimaan negara.
Bamsoet menyoroti bahwa rendahnya penerimaan negara saat ini disebabkan oleh berbagai hambatan administratif dan kebijakan yang belum sepenuhnya efektif. Oleh karena itu, transformasi tata kelola menjadi kunci utama dalam meningkatkan kapasitas fiskal pemerintah agar dapat memberikan stimulus bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Selain itu, pembentukan badan ini diharapkan mampu meningkatkan rasio penerimaan negara terhadap PDB hingga mencapai 23 persen. Ia juga menekankan bahwa lembaga ini perlu menerapkan sistem yang lebih efisien dan transparan, seperti yang dilakukan oleh Inland Revenue Authority of Singapore (IRAS), yang berhasil meningkatkan kepatuhan pajak dengan sistem berbasis teknologi.
Di sisi lain, keberadaan Badan Penerimaan Negara juga berperan dalam melindungi hak-hak wajib pajak serta membangun kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan. Saat ini, tingkat kepatuhan pajak di Indonesia masih rendah, dengan hanya 16 juta wajib pajak yang aktif melaporkan SPT dari total potensi 60 juta wajib pajak. Sebagai solusi, badan ini dapat mengadopsi sistem perpajakan modern seperti yang diterapkan di Estonia, di mana pendekatan berbasis teknologi telah meningkatkan kepatuhan pajak hingga 85 persen. Dengan sistem yang lebih transparan dan efisien, diharapkan pengelolaan penerimaan negara akan semakin optimal dan berkontribusi pada pembangunan ekonomi berkelanjutan.