Tag Archives: Bank Indonesia

https://orkutluv.com

Misbakhun Desak BI Stabilkan Rupiah Usai Trump Terapkan Tarif Resiprokal

Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, meminta Bank Indonesia (BI) segera mengambil langkah konkret untuk menstabilkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Seruan ini disampaikan sebagai respons terhadap kebijakan tarif resiprokal yang diumumkan Presiden AS Donald Trump. Menurut Misbakhun, momen libur Lebaran merupakan waktu strategis bagi BI untuk menguji kebijakan stabilisasi yang paling tepat sebelum pasar kembali aktif.

Ia menekankan pentingnya menjaga nilai tukar rupiah agar tidak menembus batas psikologis yang bisa menimbulkan dampak ekonomi lebih luas. Dalam pandangannya, tekanan terhadap rupiah akan makin kuat seiring prediksi penurunan suku bunga oleh The Fed sebagai respons atas inflasi tinggi di AS. Penurunan suku bunga ini, kata dia, bisa menciptakan ketidakpastian baru dan menekan proyeksi pertumbuhan ekonomi global, termasuk memengaruhi stabilitas nilai tukar di pasar uang.

Lebih lanjut, Misbakhun menyoroti potensi dampak kebijakan tarif AS terhadap ekspor Indonesia. Pada 2024, ekspor Indonesia ke AS mencapai 26,4 miliar dolar AS atau 9,9 persen dari total ekspor nasional. Ia khawatir tarif 32 persen yang diberlakukan mulai 9 April 2025 akan menekan daya saing produk ekspor unggulan Indonesia seperti tekstil, alas kaki, CPO, dan elektronik, yang sebagian besar merupakan industri padat karya.

Jika tekanan ini berlanjut, Misbakhun memperingatkan dampaknya bisa terasa hingga pada penerimaan negara. Ia menyebut perlu adanya penghitungan ulang terhadap target penerimaan dalam APBN 2025, mengingat sektor ekspor sangat berkontribusi terhadap pajak, bea masuk, dan PNBP.

Rupiah Menguat Tipis di Awal Perdagangan, Stabil di Tengah Tekanan Global

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mengalami penguatan tipis pada pembukaan perdagangan Rabu pagi di Jakarta. Rupiah naik 8 poin atau sekitar 0,05 persen, menjadi Rp16.604 per dolar AS dibandingkan posisi sebelumnya di Rp16.612 per dolar AS. Meskipun penguatan ini relatif kecil, pergerakan rupiah menunjukkan daya tahan terhadap tekanan eksternal yang masih berlangsung.

Penguatan ini mencerminkan stabilitas rupiah di tengah tekanan ekonomi global yang bergejolak. Sentimen investor terhadap aset berisiko tetap cukup stabil, sementara faktor eksternal seperti kebijakan moneter bank sentral AS dan fluktuasi harga komoditas turut memengaruhi pergerakan mata uang Indonesia. Prospek kebijakan suku bunga The Fed dan perkembangan geopolitik global juga menjadi faktor yang terus dipertimbangkan oleh para pelaku pasar.

Di sisi lain, pelaku pasar domestik terus memantau kebijakan Bank Indonesia dalam menjaga keseimbangan nilai tukar. Otoritas moneter mengambil langkah strategis, seperti intervensi di pasar valas serta pengendalian inflasi, guna memastikan kestabilan rupiah di tengah ketidakpastian global. Selain itu, upaya untuk memperkuat cadangan devisa juga menjadi salah satu strategi utama dalam menjaga ketahanan ekonomi nasional.

Faktor lain yang turut menopang pergerakan rupiah adalah arus investasi asing dan kinerja ekspor yang tetap kuat di beberapa sektor. Meskipun pasar masih berpotensi menghadapi volatilitas akibat berbagai faktor eksternal, optimisme terhadap pertumbuhan ekonomi domestik tetap tinggi. Pemerintah dan Bank Indonesia terus mengawasi dinamika pasar guna menjaga stabilitas ekonomi nasional dan memastikan rupiah tetap berada dalam kisaran yang terkendali. Dengan pengelolaan kebijakan yang tepat, diharapkan rupiah mampu bertahan dan terus menguat dalam jangka panjang.

Kurs Rupiah Menguat Tipis, Sikap The Fed dan Tarif Trump Jadi Sorotan

Penguatan nilai tukar rupiah baru-baru ini dipengaruhi oleh pernyataan Federal Reserve (The Fed) yang menunjukkan sikap hati-hati dalam menurunkan suku bunga lebih lanjut dalam waktu dekat.

Menurut pengamat mata uang, Ibrahim Assuabi, Ketua The Fed Jerome Powell semakin mengurangi ekspektasi pemangkasan suku bunga. Dalam keterangannya di hadapan Komite Perbankan Senat pada Selasa (11/2), Powell menegaskan bahwa The Fed tidak terburu-buru untuk memangkas suku bunga lebih lanjut, mengingat penurunan 1 persen yang sudah dilakukan pada 2024 serta ketahanan ekonomi AS yang masih kuat.

Sementara itu, investor masih mencerna dampak kebijakan tarif tinggi yang diterapkan Presiden AS Donald Trump. Kebijakan ini diperkirakan dapat memicu inflasi dan menekan pertumbuhan ekonomi dalam beberapa bulan ke depan. Lebih lanjut, ada indikasi bahwa Trump berencana menerapkan lebih banyak tarif tambahan ke berbagai sektor.

Sejalan dengan hal tersebut, analis mata uang dari Doo Financial Futures, Lukman Leong, menilai bahwa pidato Powell tidak membawa kejutan baru bagi pasar. Meski pernyataannya bersifat hawkish, prospek pemangkasan suku bunga The Fed tetap berada di kisaran 35 basis poin hingga akhir tahun, sehingga dolar AS mengalami koreksi dan rupiah mendapatkan momentum penguatan.

Namun, penguatan rupiah diperkirakan tidak akan signifikan karena kebijakan tarif Trump yang mencapai 25 persen pada baja dan aluminium berisiko memicu tindakan balasan dari mitra dagang AS.

Pada penutupan perdagangan Rabu di Jakarta, rupiah menguat 8 poin atau sekitar 0,05 persen menjadi Rp16.376 per dolar AS dari posisi sebelumnya Rp16.384 per dolar AS. Sementara itu, kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia juga menunjukkan penguatan ke level Rp16.364 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.380 per dolar AS.

Bank Indonesia Beberkan 5 Indikator Ekonomi Dunia Bakal Meredup Ke Depan

Pada 5 Desember 2024, Bank Indonesia (BI) mengungkapkan lima indikator utama yang menunjukkan bahwa perekonomian global berisiko meredup di tahun-tahun mendatang. Pernyataan ini disampaikan dalam laporan tahunan yang memaparkan proyeksi ekonomi global yang lebih suram, yang bisa memengaruhi banyak negara, termasuk Indonesia.

Indikator pertama yang disoroti oleh Bank Indonesia adalah perlambatan pertumbuhan ekonomi global. Setelah bertumbuh pesat pasca-pandemi, BI memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia akan melambat akibat ketegangan geopolitik, inflasi yang tinggi, dan gangguan rantai pasokan. Hal ini bisa berdampak pada banyak negara yang bergantung pada perdagangan internasional.

Indikator kedua adalah tingginya inflasi global. Meskipun beberapa negara mulai berhasil menurunkan inflasi, banyak negara berkembang masih menghadapi tingkat inflasi yang tinggi. Kenaikan harga energi dan pangan masih menjadi tantangan besar bagi banyak negara, menghambat daya beli masyarakat, dan memperburuk ketidakpastian ekonomi.

Suku bunga yang terus naik menjadi indikator ketiga. Bank sentral di berbagai negara, termasuk AS dan Eropa, telah menaikkan suku bunga untuk mengendalikan inflasi. Hal ini menyebabkan peningkatan biaya pinjaman dan bisa memperlambat aktivitas investasi dan konsumsi, yang pada gilirannya menekan pertumbuhan ekonomi global.

Bank Indonesia juga menyoroti masalah krisis utang di negara-negara berkembang sebagai indikator keempat. Banyak negara berkembang yang terjebak dalam utang luar negeri yang tinggi, membuat mereka kesulitan membayar cicilan utang dan menghambat pertumbuhan ekonomi domestik. Hal ini bisa menciptakan ketidakstabilan ekonomi yang meluas.

Indikator terakhir adalah ketegangan geopolitik dan dampaknya terhadap perdagangan internasional. Konflik di berbagai belahan dunia, seperti di Ukraina dan Taiwan, serta kebijakan perdagangan yang lebih proteksionis dari negara-negara besar, telah mengurangi arus perdagangan global dan menciptakan ketidakpastian yang lebih besar di pasar internasional.

Dengan meredupnya perekonomian global, Indonesia harus waspada terhadap dampak negatif yang mungkin timbul, terutama dalam hal perdagangan internasional, investasi, dan kestabilan ekonomi. Bank Indonesia memperingatkan bahwa negara harus mempersiapkan strategi untuk menghadapi ketidakpastian yang mungkin terjadi di masa depan, sambil mengupayakan kebijakan yang dapat memperkuat perekonomian domestik.