Jakarta – Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang dijadwalkan mulai berlaku pada 1 Januari 2025, menuai perdebatan sengit di kalangan elite politik. Hal ini seiring dengan disahkannya UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang mengatur perubahan tarif tersebut.
Dalam Pasal 7 Ayat (1) UU HPP, disebutkan bahwa PPN 11 persen berlaku mulai 1 April 2022, dengan ketentuan tarif PPN bisa ditingkatkan menjadi 12 persen paling lambat pada 2025. Pasal 7 Ayat (3) menegaskan bahwa tarif PPN dapat diubah dalam rentang 5 hingga 15 persen.
Namun, baru-baru ini, polemik muncul di DPR terkait dengan siapa yang paling bertanggung jawab atas pengesahan Undang-Undang tersebut. Partai Gerindra yang dipimpin oleh Presiden Prabowo Subianto mengkritik sikap PDIP yang kini menentang kenaikan tarif PPN, padahal partai tersebut terlibat dalam pembahasan dan pengesahan RUU HPP.
Lini masa perjalanan UU HPP dimulai dengan pengusulan oleh pemerintah pada Mei 2021. RUU ini, yang pada awalnya dikenal dengan nama RUU KUP, berubah menjadi RUU HPP setelah mendapat pembahasan panjang di parlemen. Pembahasan yang dimulai pada Juni 2021 tersebut melibatkan berbagai fraksi, dengan delapan fraksi setuju untuk mengesahkan RUU tersebut pada 29 September 2021.
Meski sebagian besar fraksi setuju, PKS menentang kenaikan PPN menjadi 12 persen. Partai ini berpendapat bahwa kenaikan PPN tersebut akan menghambat pemulihan ekonomi nasional, terutama di kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah dan pelaku UMKM.
PDIP, yang sebelumnya menyetujui kenaikan tarif, menyatakan bahwa penguatan sistem perpajakan yang adil dan efektif adalah kunci keberlanjutan APBN. Namun, mereka juga menyuarakan pentingnya menjaga beban pajak bagi masyarakat kecil dan UMKM agar tidak terlalu membebani.
Di sisi lain, Gerindra mendukung program pengungkapan sukarela wajib pajak sebagai upaya untuk meningkatkan kepatuhan pajak di Indonesia. Mereka berharap sistem perpajakan yang lebih transparan dapat meningkatkan penerimaan negara secara berkelanjutan.
Perseteruan ini menunjukkan bahwa meski UU HPP sudah disahkan, perdebatan mengenai dampak dan implementasinya masih menjadi topik panas di kalangan politisi dan masyarakat.